
MUSIBAH jatuhnya helikopter yang menewaskan Presiden Iran Ebrahim Raisi dan Menlu Hossein Amir-Abdollahian serta pejabat tinggi lainnya, sangat mengejutkan dan bisa berdampak pada konstelasi politik di negara itu dan juga di kawasan.
Raisi wafat di tengah memuncaknya ketegangan antara Iran dan musuh bebuyutannya, Israel akibat kematian dua Jenderal Iran, lalu dibalas dengan serangan ratusan dron dan rudal balistik ke wilayah Israel, April lalu.
Muncul sejumlah spekulasi tentang kematian orang No. 1 di Iran setelah Pemimpin Tertinggi Ali Khamenei itu, apakah akibat sabotase agen-agen rahasia Israel, Mossad atau kecelakaan biasa disebabkan kerusakan heli Bell-212 buatan AS yang memang sudah lawas.
Heli yang dinaiki Raisi dan sejumlah petinggi Iran itu jatuh kawasan pegunungan terpencil di Azerbaijan timur dalam penerbangan kembali ke Iran, Minggu (19/5) sepulang meresmikan bendungan bersama Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev.
Spekulasi adanya sabotase muncul mengingat dua helikopter lain dari jenis sama (Bell- 212) yang beriringan dengan yang ditumpangi Raisi selamat sampai Tehran di tengah cuaca berkabut saat itu.
“Ragam asumsi dan laporan berbeda beda yang belum terkonfirmasi beredar di Iran,” papar Sara Bazoobandi, pakar Iran di lembaga pemikir Institut Jerman untuk Studi Global dan Area di Hamburg.
Penyebabnya, menurut dia, bisa saja murni kecelakaan atau helikopternya sudah tua, atau juga sabotase, dan mungkin juga melibatkan orang-orang di lingkaran politik Raisi.
“Tidak ada hal yang bisa dikesampingkan, semua kemungkinan itu bisa jadi penyebab,” ujarnya.
Rakyat Iran kemungkinan besar berharap rincian lebih lanjut mengenai kecelakaan itu akan muncul dalam beberapa hari dan minggu mendatang, sementara rezim Iran berupaya menjaga agar roda-rda pemerintahan tetap berjalan.
Pemerintah tetap Berjalan
Sementara itu, rezim teokrasi Iran berusaha menjaga ketertiban dan keadaan tetap stabil. Kabinet Iran berjanji bahwa pekerjaan pemerintah akan terus berjalan “tanpa gangguan sedikit pun”.
“Kami menjamin pada segenap unsur bangsa yang setia, pelayanan akan terus berlanjut bersama semangat Ayatollah Raisi yang tak kenal Lelah, “ demikian kabinet Iran dalam pernyataannya.
Wapres Utama Iran (ada 12 wapres), Mohammad Mokhber sesuai konstitusi Iran telah ditunjuk sebagai presiden ad-interim dan dalam waktu 50 hari setelah kematian presiden menggelar pilpres baru.
Mokhber (68) yang lebih banyak berada di balik layar panggung politik ketimbang sejumlah politisi lain, dikenal memiliki hubungan baik dengan Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) sehingga bisa dijamin, saat kepemimpinnya nanti, peran IRGC akan dalam pemerintahan Iran akan tetap utuh, bahkan meningkat.
Bazoobandi memperkirakan, penetapan Mokhber sebagai Presiden Sementara Iran pengganti Raisi Iran yang akan menggelar pemilu baru tidak ada kejutan.
“Pemilu kemungkinan akan digelar dalam waktu 50 hari ke depan seperti yang diamanatkan, tapi bisa jadi pemilu kali ini juga tidak sah, akal-akalan ,” katanya, mengacu pada pilpres terakhir pada 2021 yang dimenangi dengan mudah oleh Raisi.
Pemilu ini akan berlangsung ketika negara tersebut sedang berjuang menghadapi serangkaian tantangan geopolitik dan ekonomi. Banyak warga Iran yang menghadapi kesulitan ekonomi, dengan inflasi lebih dari 50 persen, kenaikan utilitas, harga pangan dan perumahan, serta anjloknya mata uang riyal.
Banyak Hukuman Mati
Sementara itu, Amesty International melaporkan, pemerintah Iran makin banyak menerapkan hukuman mati terhadap kelompk-kelompok yang bersebarangan yakni 853 orang pada 2023.
Kelompok HAM mengatakan, rezim tersebut melakukan lebih banyak hukuman gantung sebagai cara untuk menanamkan rasa takut setelah protes yang pecah pada musim gugur 2022.
Bazoobandi menilai, situasi politik dan ekonomi berkontribusi terhadap meningkatnya kekecewaan masyarakat terhadap sistem, dan dapat menyebabkan semakin sedikitnya orang yang berpartisipasi dalam pemilu berikutnya.
“Mereka tidak memercayai rezim dan hanya memiliki sedikit harapan terhadap perubahan, “ ujarnya.
Selain itu, banyak warga yang beranggapan, hasilnya sudah diketahui sebelum pemilu,” katanya, seraya menambahkan bahwa pertanyaan paling menarik adalah siapa yang akan menggantikan Raisi.
“Tidak dapat dimungkiri, wakil presiden saat ini akan mengambil alih, ” kata Bazoobandi.
Hal senada dilontarkan oleh pakar Iran di Carnegie Endowment for International Peace, Karim Sadjadpour yang meyakini, kematian Raisi “akan menciptakan krisis suksesi” di Iran.
“Dia dan Mojtaba Khamenei adalah satu-satunya pesaing untuk menggantikan Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei (ayah Mojtaba) yang berusia 85 tahun,” tulisnya di X.
Kematian Raisi, tokoh garis keras yang dipandang sebagai calon penerus Khamenei, kemungkinan akan menghidupkan kembali perdebatan, tentang siapa yang akan menjadi pemimpin tertinggi berikutnya.
Meskipun Khamenei belum mendukung penggantinya, pengamat Iran mengatakan, Raisi adalah salah satu dari dua nama yang paling sering disebutkan, yang kedua adalah Mojtaba (55) yang disebut-sebut memiliki pengaruh di balik layar.
Nepotisme Ditolak
Namun, beberapa pihak menyuarakan keprihatinan mengenai posisi yang akan diberikan kepada anggota keluarga, dan banyak yang yakin keputusan tersebut akan ditolak oleh sebagian besar masyarakat.
“Penunjukan Mojtaba Khamenei sebagai Pemimpin Tertinggi Spiritual Iran dapat memicu keresahan masyarakat,” tulis Sadjadpour.
“Minim legitimasi dan popularitas, akan membuat ia sepenuhnya bergantung pada Garda Revolusi. Jika ini terjadi dapat mempercepat transisi rezim ke pemerintahan militer atau potensi keruntuhan rezim tersebut.
Namun, Bazoobandi yakin protes massal baru di Iran tidak mungkin terjadi. “Rezim yang berkuasa telah melumpuhkan aksi protes dengan sangat brutal pasca kematian Jina Mahsa Amini dua tahun lalu, “ tuturnya.
Menurut prekdisi Bazoobandi, tidak akan ada perubahan apa pun di bawah presiden sementara yang baru. “Raisi menerima instruksinya dari Khamenei. Dia hanyalah boneka. Dan hal itu tidak akan jauh berbeda dengan presiden berikutnya.”
Sementara Mohammad Ali Shabani, editor Amwaj.media, situs web yang berfokus pada persoalan Iran mengatakan. “Pilpres yang dilakukan lebih awal, dapat memberikan kesempatan bagi Khamenei dan para petinggi negara untuk mengubah arah politik dengan cara menyelamatkan mukanya dan memberikan jalan bagi para pemilih yang kecewa untuk kembali ke proses politik,” katanya.
Namun, hal iitu memerlukan keputusan strategis untuk memutar balik dan memperluas lingkaran politik yang terus menyusut. Sejauh ini, kecenderungan kelompok politik adalah menggandakan kekuasaan konservatif.”
Hamidreza Azizi dari Institut Urusan Internasional dan Keamanan Jerman berpandangan serupa, tidak yakin kematian Raisi akan berdampak signifikan pada cengkeraman kekuasaan rezim di Iran.
“Secara keseluruhan, implikasi kematian Raisi tak akan menjadi pukulan telak terhadap sistem yang ada, namun bakal berdampak pada persaingan antarkelompok garis keras walau tidak sampai pada arah strategis Iran dalam politik LN dan domestik,” pungkas Azizi. (Kompas.com/ns)