Saudaraku, keseluruhan itu lebih dari jumlah bagian-bagiannya. Dalam psikologi dikenal dengan teori Gestalt.
Misalnya, kita melihat lampu lalu lintas. Kalau dilihat satuan-satuannya ada tiga warna: hijau, kuning, merah. Jika ketiga warna itu berdiri sendiri-sendiri, hasil penjumlahan ketiga warna itu tak mengandung arti tertentu, kecuali sekadar menunjukan perbedaan warna. Namun, jika kita melihatnya secara keseluruhan sebagai suatu sistem rangkaian paduan warna yang menyatu dan koheren, barulah mengandung makna yang utuh. Bahwa setiap warna itu mewakili fungsi penanda tertentu dalam suatu kesatuan integral dengan warna (penanda) lain yang secara keseluruhan membentuk sistem aturan lalu lintas.
Begitu pun cara kita melihat biografi manusia. Kita tidak bisa menilainya hanya dengan menangkap fragmen-fragmen penampakan dalam perjalanan hidupnya. Manusia harus dilihat secara keseluruhan sebagai makhluk dinamis dalam proses mewaktu (berkembang dalam waktu).
Subjektivitas manusia dalam proses mewaktu dibentuk oleh hasil interaksi antara simbolisme budaya, biografi individual, disposisi biologis, kebiasaan sosial yang melekat, kondisi ekonomi, dan pemikiran deliberatif. Maka dari itu, sosok perwujudan manusia bukanlah fakta eksistensi yang sudah selesai (in actu), melainkan fakta eksistensi dalam proses menjadi (in potentia).
Tidak ada identitas tunggal dan tak ada identitas yang fixed. Bahkan seorang pendosa bisa bertaubat; bahkan seorang teroris bisa insyaf; bahkan seorang tokoh agama bisa bejad; bahkan seorang polisi bisa kriminal; bahkan seorang pemimpin bisa khianat. Bahkan lawan politik bisa jadi sekutu. Bahkan teman se-ideologi bisa beda kubu. Setiap pendosa memiliki masa lalu; setiap pensuci memiliki masa depan.
Maka, sebaik-baik biografi manusia adalah mereka yang bisa mengakhiri kisah hidupnya dengan baik dan indah; husnul khatimah.