PILKADA DKI Jakarta putaran dua selain hasilnya diharapkan akan melahirkan pemimpin yang mumpuni dan mau bekerja keras mengatasi kompleksitas persoalan ibukota, juga menunjukkan mutu peradaban demokrasi di Indonesia.
Harus jujur diakui, hingar-bingar dan hiruk-pikuk persaingan antarpasangan calon (paslon) sejak menjelang putaran pertama pilkada November lalu, tercederai oleh aksi-aksi bernuansa SARA, kapitalisasi dan politisasi agama diwarnai ujaran kebencian, makian, fitnah dan hujatan di media sosial.
Kapitalisasi agama secara menyesatkan, tampak jelas misalnya di spanduk-spanduk yang dipampang di sejumlah tempat atau diposting di medsos yang memuat ajakan untuk tidak menyalati warga pendukung paslon tertentu.
Berbagai bentuk hoax pun diposting, dikait-kaitkan untuk sekedar “membulli” atau menegasikan calon tertentu atau menakut-nakuti warga untuk tidak memilih calon atau paslon tertentu.
Di masa tenang sejak Minggu (16/4) pun, ujaran kebencian di medsos tidak malah mereda, sementara masih ada satu-dua spanduk memuat konten memecah- belah terpampang, walau ribuan spanduk telah dicabuti petugas Satpol PP atau anggota aparat keamanan.
“Gerilyawan-gerilyawan ” tim sukses paslon – salah satu atau mungkin juga dari kedua paslon – beramunisikan sembako, dilaporkan masih giat melancarkan ’’serangan fajar’’ guna “membeli” suara warga.
Di hari “H” pemungutan suara, Rabu 19 April, sekelompok massa, bahkan dari luar DKI Jakarta, dengan dalih untuk mencegah terjadinya kecurangan, akan berbondong-bondong “mengawal” TPS . Direncanakan, di setiap TPS akan hadir seratusan anggota kelompok tersebut.
Tentu saja, seperti yang disampaikan mantan Ketua MK Prof. Jimly Asshidiqie, kehadiran kelompok tersebut, jika tidak dicegah, akan mencederai prinsip demokrasi yang bebas dan rahasia, karena warga yang melakukan hak pilihnya aka merasa terintimidasi.
Hal senada disampakan oleh ulama Islam, Buya Syafii Maarif yang berpandangan bahwa kehadiran kelompok semacama itu an mengganggu jalannya pemungutan suara yang beradab dan bermartabat.
Diingatkan terus-menerus
Pesan mengingatkan agar warga bersikap fair, rasional, dewasa dan menghindari perpecahan akibat Pilkada DKI Jakarta yang memang hangat dan rentan goyangan politisasi tidak henti-hentinya disuarakan oleh Presiden Jokowi, tokoh masyarakat para ulama dan pemuka lintas agama.
“Jangan ada intimidasi dari pihak mana pun, “ ujar presiden usai bertemu Wapres Jusuf Kalla, Menko Politik, hukum dan Keamanan Wiranto, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, Kapolri Jenderal (Pol.) Tito Karnavian dan Kepala BIN Jenderal Budi Gunawan beranda di Istana Merdeka (15/4).
Wiranto mengakui adanya ancaman keamanan menjelang hari “H” pemungutan suara, namun menurut dia, hal itu sudah diantisipasi dan berhasil dinetralisir, dan ia memastikan negara akan melindungi setiap warga yang memiliki hak pilih dari segala bentuk intimidasi dan tekanan.
Jokowi usai acara tersebut melakukan pertemuan dengan sejumlah tokoh-tokoh Islam seperti KH Ma’ruf Amin, Mahmud MD, Jimly Asshidiqie dan Hamdan Zoelva.
Di kawasan Monas, Jakpus di hari sama, digelar silaturahmi dan deklarasi Pilkada Damai , dihadiri Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mewakili paslon nomor urut 2 dan Sandiaga Uno mewakili paslon nomor urut 3, Pangdam Jaya Mayjen Jaswandi, Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian dan Kapolda Jaya Irjen (Pol) M Iriawan.
Kapolri sekali lagi mengingatkan larangan pengerahan masa ke tempat pemungutan suara karena hal itu terkesan sebagai bentuk ancaman intimidasi, baik fisik maupun psikis.
“Jika ada pengerahan masa yang terkesan intimidatif, Polri akan bertindak tegas mengamankan pelakunya, “ kata Tito.
Tokoh lintas agama, kompak
Para tokoh lintas agama juga tidak ingin ketinggalan, pada hari yang sama di Jakarta mengajak rakyat agar menghindari intimidasi dan politisasi agama dan menyerukan mereka agar megedepankan persatuan, keutuhan dan keselamatan bangsa.
Pertemuan tokoh lintas agama dihadiri pimpinan Nahdlatul Ulama , Konferensi Wali Gereja (KWI), Persekutuan Gereja (PGI), Parisada Budha Dharma Niciren Syosu (NSI), Majelis Tinggi Konghucu (Matakin) dan Parisada Hindu Darma (PHDI).
“Mari kita dahulukan dan pentingkan keutuhan an keselamatan bangsa agar Indonesia tidak bernasib sama (terpecah-belah-red) seperi Irak, Somalia dan Suriah, “ kata Ketua PB NU Said Aqil Siroj mewanti-wanti.
Berbagai upaya untuk mendorong partisipasi rakyat juga dilakukan pemerintah dan segenap penyelenggara. Berbagai kemudahan diberikan, misalnya penggunaan surat keterangan (suket) yang sudah terekam dalam e-KTP (dengan foto dan barcode) atau suket khusus yang diperuntukkan Pilkada DKI Jakarta.
Warga dengan hak pilih yang tidak terdaftar dalam DPT juga masih bisa mengikuti pemungutan suara dengan menunjukkan e-KTP dan KK asli.
Dari sisi keamanan, Polri meningkatkan jumlah satuan pengaman Pillkada sampai 60.000 personil, dibantu satuan TNI dan Satpol PP yang disiapkan di setiap TPS dari seluruhnya 13.034 TPS tersebar di wilayah DKI Jakarta.
Pemungutan suara,19 April, diharapkan menjadi “ending” hujat-menghujat, kejengkelan mulai dari level keluarga, antartetangga, rekan sejawat, sampai ke tokoh, pemuka, politisi, antarpemimpin masyarakat atau agama yang berlangsung sepanjang proses pilkada akibat pemihakan yang berbeda.
Hasilnya, juga akan dicatat sejarah, terkait tingkat kecerdasan rakyat memilih pemimpinnya dan pembuktian bagi pemimpin terpilih atas janji-janji, program dan komitmen yang disampaikan saat kampanye.
Dunia luar terutama negara tetangga juga akan menilai, peringkat peradaban demokrasi Indonesia yang tercermin dalam proses Pilkada DKI Jakarta yang sarat dengan intrik, politisasi agama dan kepentingan banyak pihak.