Siap-siap! Jakarta Kekeringan

0
1002
Musim kemarau ditandai dengan absennya hujan antara 20 hingga 60 bahkan 90 hari diprediksi melanda sebagian wilayah Indonesia September depan, termasuk ibukota dan sekitarnya.

JABODETABEK termasuk di antara sejumlah wilayah di Indonesia yang memasuki musim kering sehingga menambah ketidaknyamanan warga selain akibat banjir, kemacetan, sampah, polusi dan pedagang K-5.

Bagi warga ibukota, kemacetan lalu-lintas sepanjang hari, banjir saat musim penghujan, pedagang K-5 yang mengokupasi trotoar, taman atau ruang publik lainnya, polusi udara yang semakin parah, ancaman gempa serta tsunami menjadi beban kecemasan yang menghantui, kemacetan bahkan menjadi santapan sehari-hari, sementara banjir secara rutin setiap musim menyambangi.

Selain wilayah Jabodetabek, BMKG meramalkan, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB dan NTT bakal mengalami kemarau panjang hingga Oktober, ditandai kekeringan akibat absennya turun hujan sampai 60 hari, bahkan diprediksi kemungkinan bisa 90 hari.

Antrian air sudah dilaporkan misalnya di Desa Sirnajati, Bekasi, Desa Koceak, Tangerang, Desa Silangit, Klangenan, Kab, Cirebon, sejumlah desa di Kab. Indramayu dan Desa Kalinanas, Wonosegoro, Boyolali.
Selain kekeringan, banjir juga persoalan klasik yang akrab bagi warga Jakarta terutama akibat luapan Kali Ciliwung dan 12 kali bermuara di wilayah ibukota yang sebagian tertutup sampah atau diokupasi warga.

Pada 2019 masih ada 32 titik banjir di wilayah ibukota antra lain di kawasan Pejaten Timur, Jatinegara, Rawajati, Kebon Baru, Bidara China, Balekambang, Kp. Melayu dan Cawang.

Sementara terkait kemacetan lalu lintas, Jakarta boleh prihatin atau bangga (?) karena masuk dalam deretan kota-kota termacet di dunia bersanding dengan metropolis-metropolis kesohor seperti Los Angeles, Moskow dan Bangkok.

Pembangunan jalan-jalan layang, “underpass” dan moda transportasi baru seperti Trans Jakarta, MRT dan LRT dan rekayasa lalin melalui program “three in one”, plat ganjil-genap dan pembatasan sepeda motor di rute-rute tertentu ternyata belum mampu menjadi solusinya.

Polusi udara
“Prestasi” yang diraih Jakarta lainnya yakni polusi udara yang pada 10 Agustus lalu pukul 09.00 pagi yang tertinggi didunia yakni dengan indeks kualitas udara 170 berupa partikel polutan sangat kecil (berdiameter kurang 2,5 mikrometer (PM 2,5).

Laman resmi AirVisual mencatat konsentrasi PM 2,5 di udara Jakarta saat ini mencapai 92,4 mikrogram per meter kubik, jauh di atas standar konsentrasi udara menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) yakni 25 mikrogram per meter kubik dalam jangka waktu 24 jam.

Buruknya kualitas udara di Jakarta bisa memicu gangguan jatung dan paru-paru. Kualitas udar ayang buruk ini juga bisa mengganggu kelompok sensitif.

Sementara persoalan K-5 di kawasan ibukota seolah-olah tidak ada matinya. Setiap kali ditertibkan oleh Satpol PP, pedagang K-5 muncul lagi di pedestrian, taman-taman dan berbagai ruang publik lainnya.

Kekalahan Pemrov DKI Jakarta pada sidang MA terkait gugatan kader PSI atas penggunaan sebagian ruas jalan Jatibaru, Tanah Abang, Jakpus bagi lapak pedagang K-5, mencerminkan inkonsistensi kebijakan, mengeluarkan Perda yang bertentangan dengan Undang-undang (UU No. 22 tahun 2009 tentang LLAJ).

Letak geografis wilayah ibukota di kawasan patahan (sesar) Lembang dan Baribis juga menuntut kewaspadaan para penentu kebijakan dan warganya menghadapi potensi gempa dan tsunami.

Diperlukan sosok gubernur yang mampu dan mau bekeja keras menata kota dan mengatasi persoalan multidimensi yang dihadapi ibukota RI, bukan yang cuma piawai berkelit menata kata-kata.

Advertisement div class="td-visible-desktop">