TABRAKAN antara bumi dan asteroid atau bongkahan batu yang bergerak mengelilingi matahari 66 juta tahun lalu merupakan malapetaka penyebab kepunahan lebih separuh spesies bumi termasuk dinosaurus.
Asteriod berukuran lebar 10 km yang menghantam bumi seperti ditulis Scientific American (kompas. com 5/10) menciptakan “kawah malapetaka” Chicxlub di dasar laut Semenjung Yucatan, Mexico.
Ancaman kehancuran bumi mungkin tampak seperti fiksi ilmiah , namun, di bidang ilmu terapan yang dikenal sebagai pertahanan planet, para ilmuwan dan insinyur di seluruh dunia meresponsnya dengan sangat serius.
Dalam buku terbarunya, ”Bagaimana Membunuh Asteroid: The Real Science of Planetary Defense”, jurnalis sains ternama Robin George Andrews mengungkapkan kisah menakutkan tentang upaya melindungi bumi dari bebatuan antariksa dan membantu umat manusia menghindari nasib suram seperti dinosaurus.
“Kebanyakan orang mengetahui potensi kehancuran bumi berdasarkan film-film fiksi ilmiah terkenal, seperti Armageddon, Deep Impact, Don’t Look Up, namun, mereka tidak benar-benar menganggap tumbukan sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi,” ujar Robin.
“Cepat atau lambat, bencana seperti itu kemungkinan besar akan terjadi lagi, kecuali manusia bisa melihat penabrak berikutnya yang datang dan mencegahnya “menyentuh” permukaan Bumi,” . kata Robin.
Sementara seorang insinyur kedirgantaraan di Goddard Spaceflight Center NASA dan profesor teknik kedirgantaraan di Universitas Maryland Brent Barbee mengatakan, badan Antariksa tersebut menanggapi skenario kiamat dengan sangat serius. Mereka bertahun-tahun melakukan penelitian, termasuk misi pertama di dunia untuk membelokkan asteroid di luar angkasa.
Upaya komunitas internasional telah menghasilkan dua cara yang dianggap layak untuk mengubah arah asteroid yang berpotensi mematikan, yakni menabraknya dengan benda berkecepatan tinggi atau menghantamnya dengan peledak nuklir.
Penabrak kinetik
Saat ini, satu-satunya cara yang telah terbukti membelokkan asteroid adalah dengan menggunakan metode penabrak kinetik, yang pada dasarnya adalah permainan biliar kosmik dengan taruhan sangat tinggi.
“Penabrak kinetik adalah wahana antariksa yang pada dasarnya ditabrakkan ke asteroid dengan kecepatan tinggi dan memindahkan momentumnya ke asteroid, seperti bermain biliar,” kata Barbee, dikutip dari Live Science (11/11/’23).
“Tapi, materi yang terlontar dari asteroid setelah tabrakan itu bisa memberikan perubahan momentum tambahan untuk asteroid dan mendorongnya sedikit lebih keras,” tambahnya.
NASA menguji metode penabrak kinetik dengan Uji Pengalihan Asteroid Ganda (DART). Misi senilai 325 juta dollar AS ini dengan sengaja menabrakkan pesawat ruang angkasa yang sedang melaju ke asteroid Dimorphos selebar 580 kaki (177 meter) pada September 2022.
Dimorphos tidak menimbulkan ancaman bagi bumi, tetapi menjadi target utama karena ukuran dan orbitnya yang mengelilingi asteroid pendamping yang lebih besar.
Setelah tabrakan yang sukses pada 26 Sept. ’23 , orbit Dimorphos di sekitar Didymos melambat selama 33 menit, akibat dari tabrakan dan gumpalan debu yang terlontar dari permukaan asteroid.
Misi tersebut adalah upaya pertama yang dilakukan manusia untuk mengubah arah sebuah asteroid agar tidak menabrak bumi, namun, metode penabrak kinetik memiliki kelemahan, karena semakin besar target asteroid, semakin banyak penabrak kinetik yang diperlukan untuk membelokkannya.
Contohnya, untuk membelokkan asteroid berukuran lebar sekitar 2.000 kaki (610 m), atau sekitar tiga kali ukuran Dimorphos, perlu diluncurkan secara bersamaan antara 39 hingga 85 roket Falcon Heavy yang membawa penabrak kinetik.
Untuk menangkis asteroid selebar 4.900 kaki (1,5 km) atau “pembunuh planet” yang sesungguhnya, perlu diuncurkan 565 hingga 1.266 penabrak kinetik secara bersamaan.
Bagaimana jika meledakannya menggunakan nuklir? Barbee mengatakan, pilihan terbaik saat ini untuk membelokkan asteroid besar adalah dengan meluncurkan nuklir ke arahnya.
“Satu alat peledak nuklir berukuran tepat, dalam analisis kami, ternyata mampu membelokkan asteroid berukuran 1,5 kilometer,” tambahnya.
Prosesnya akan dimulai seperti misi antarplanet biasa, dengan senjata nuklir yang dipasang dengan aman di atas peluncur standar, lalu akan dikirim ke asteroid dengan pesawat ruang angkasa kecil.
Di sana, senjata tersebut dapat diledakkan di dekat asteroid selama terbang lintas berkecepatan tinggi. Idealnya, pesawat ruang angkasa pembawa nuklir dapat bertemu dengan asteroid target, mengorbit selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk menemukan sudut pendekatan yang tepat.
Hal itu yang dilakukan pesawat ruang angkasa OSIRIS-REx milik NASA terhadap asteroid Bennu pada 2018 hingga 2020. Barbee mengatakan, tempat yang ideal untuk ledakan nuklir adalah dalam jarak beberapa ratus kaki dari asteroid.
Kemudian, ledakannya akan seperti bom nuklir yang pernah diledakkan di bumi.
“Ruang angkasa, adalah ruang hampa udara, jadi tidak akan ada gelombang tekanan besar atau efek termal ledakan di bumi dan dihasilkan banyak sekali radiasi sekaligus,” kata Barbee.
Semburan radiasi akan menembus dan menguapkan lapisan luar yang tipis permukaan asteroid. Kemudian, seperti penabrak kinetik pada asteroid, materi yang menguap akan melesat keluar dari asteroid, memberikan dorongan kuat pada batu untuk menjauh dari ledakan.
Jika diposisikan dengan benar, ledakan itu akan menjatuhkan asteroid dari jalur tabrakan dengan Bumi.
Metode itu juga bisa sama efektifnya untuk menghancurkan aseroid berrukuran lebih kecil, yaitu yang berdiameter setidaknya 165 kaki (50 m).
Cenderung gunakan nuklir
Sementara tumbukan kinetik terhadap batu berisiko memecahnya dan membentuk bongkahan-bongkahan dengan ukuran yang tidak diketahui yang bergerak dengan cara yang tidak dapat diprediksi.
Sebaliknya, nuklir yang ditempatkan dengan baik dapat dengan mudah meledakkan asteroid menjadi berkeping-keping, sekaligus menyelesaikan masalahnya.
Namun sayang, untuk saat ini, metode “nuklir itu” hanya ada dalam simulasi berdasarkan data dari ledakan di bumi. Banyak faktor, termasuk ukuran dan komposisi asteroid, serta jangka waktu dan lintasan pendekatannya ke bumi, yang pada akhirnya akan memengaruhi keberhasilan misi.
Ketimbang perang, saling membunuh satu dan lainnya, umat manusia lebih baik menyatukan dana dan daya serta langkah bersama untuk menghadapi malapetaka akibat fenomena alam bersama-sama.