
Hasil Riset Dasar (HRD) Balitbang Kesehatan menunjukkan, prevalensi Penyakit Ginjal Kronik (PGK) dialami empat orang dari 1.000 penduduk, dan 60 persen penderita harus menjalani dialisis (cuci darah).
Itu HRD 2018, dan dan belum ada data spesifik tentang jumlah korban anak anak pada tahun tahun terakhir yang jumlahnya terus naik, tercermin dari makin banyaknya penderita yang harus menjalani dialisis dua kali seminggu.
Data dari BPJS 2019 menunjukkan, 1,93 juta kasus gagal ginjal dengan biaya Rp2,79 triliun, menurun pada saat pandemi Covid-19 pada 2020 menjadi 1,79 juta kasus dengan biaya Rp2,24 triliun peserta JKN layanan terapi pengganti ginjal.
Belum ada data insidensi dan prevalensi PGK pada anak secara keseluruhan, tetapi dari data Kemenkes, 220 anak dengan penyakit ginjal kronik tahap akhir pada 2017 menjalani dialisis sebagai terapi pengganti ginjal dan 13 anak menjalani transplantasi ginjal di 16 RS.
Data dari Indonesian Renal Registry (IRR) tahun 2020, prevalensi penyakit dasar dari PGK yang menjalani dialisis terbanyak adalah penyakit ginjal hipertensi diikuti oleh nefropati diabetik dan glomerulopati.
Dokter spesialis anak RSCM, Eka Laksmi Hidayati mengungkapkan (25 Juli 20204, banyaknya anak yang menjalani dialisis di sana karena RSCM menjadi rumah sakit rujukan bahkan dari luar Jawa.Ada 60 anak menjalani dialisis secara rutin, dan 30 anak di antaranya menjalani hemodialisis.
Meningkatnya jumlah penderita PGK juga diungkapkan oleh Dirut BPJS Kesehatan Prof. Ali Ghufron Multi 11 Feb. ’25 yang menyebutkan pembiayaan kesehatan terkait PGK mencapai Rp 11 triliun pada 2024 atau kenaikan sigifikan dari 2019 sebesar Rp 6,5 triliun atau dari 2023 Rp3 triliun.
Untuk itu, Prof. Ghufron mengimbau masyarakat utamanya generasi muda untuk memerhatikan pola makan dan minum, juga mengontrol riwayat penyakit yang meningkatkan risiko gagal ginjal.
Ia menyebutkan a.l. minuman segar, minuman berenergi atau jjan pasar yang marak beredar di pasar saat ini mengandung zat pengawet pemicu risiko gagala ginjal.
Prof Ghufron juga menyoroti laporan Kementerian Pertanian yang menemukan hampir 100 persen ikan lele diinjeksi obat antibiotik, belum lagi, buah-buahan yang sengaja diberikan pewarna untuk menarik pembeli.
“Makanya, harus curiga, contohnya jika menemukan buah semangka, bijinya masih putih tapi warnanya menarik, “ kata Ghufron.
Selain memerhatikan pola konsumsi, Prof Ghufron juga mengingatkan publik untuk bijak meminum obat.
Bagi keluhan yang masih bisa ditangani dengan ‘obat rumahan’ atau alami dan istirahat yang cukup serta tambahan vitamin, sebaiknya tidak perlu menggunakan obat antiinflamasi (peradangan)atau antibiotik berlebihan.
Himbauan saja tidak cukup, perlu pengawasan dan penertiban rutin, terutama terhadap penjual jajanan di lingkungan sekolahan dan juga pasar-pasar tradisional. (Tempo/ns)